Friday, January 25, 2008

Menyambut HARLAH NU ke-28

Kemana Kaum Muda NU Dibawa?

Diakui ataupun tidak, syahwat politik elit NU dari waktu ke waktu tidak pernah bisa dibendung. Meski NU telah mendaklarasikan diri kembali ke Khittah 1926 saat Muktamar di Situbondo, namun secara personal elit NU tidak bisa dipisahkan begitu saja dari kentalnya nuansa politik.
Sejarah membuktikan, mulai zaman kemerdekaan NU selalu ambil bagian dalam perhelatan politik. Mulai dari terbentuknya Partai Nahdlatul Ulama’, peleburan menjadi Partai Persatuan Pembangunan, hingga reformasi bergulir yang kemudian melahirkan Partai Kebangkitan Bangsa. Para ulama’ NU selalu mewarnai setiap kali digelarnya momen-momen demokrasi. Pasca itu, bermunculan pulalah parpol-parpol yang berlabel Nahdlatul Ulama atau menggunakan simbol-simbol NU untuk sekedar menjaring suara para nahdliyin yang diakui sangat berpengaruh dalam iklim politik di Indonesia. Bahkan KH Hasyim Muzady, Ketua Umum PBNU pernah menyatakan, dalam lima tahun paling tidak ada lima momen yang membuat warga NU memiliki pandangan berbeda dengan warga NU lainnya. Dimulai dari Pemilihan Kepala Desa, Pemilihan Bupati dan Walikota, Pemilihan Gubernur, Pemilihan Presiden dan Pemilihan Anggota DPRD dan DPR RI serta Anggota DPD. Pernyataan yang disampaikan KH Hasyim Muzady paling tidak menjadi tolok ukur bahwa memang syahwat stake holder NU di tingkat bawah hingga atas, selalu terlibat dengan kepentingan politik kekuasaan.
Di penjuru nusantara manapun, elit-elit NU selalu terlibat dengan kepentingan-kepentingan politis. Meski tidak terlibat langsung, paling tidak menjadi vote gatherer bagi faksi-faksi politik tertentu yang semuanya berdalih demi kepentingan nahdliyin. Bicara tentang politik, selalu berbicara tentang kekuasaan dan uang. Apalagi di negeri kita ini, pengartian politik sangat melekat dengan kekuasaan dan kekayaan. Setiap orang yang terlibat dengan politik hampir dipastikan selalu berduit. Atau paling tidak harus bersiap-siap memiliki duit.
Kita bisa lihat, di hampir semua kabupaten dan kota khususnya di Jawa Timur, setiap calon bupati ataupun gubernur yang akan maju, selalu minta restu dan mendatangi kantong-kantong NU. Selalu mendatangi elit-elit politik NU di tingkat lokal. Sehingga bukan hal yang baru ketika seorang bakal calon bupati atau walikota, selalu menjalin komunikasi dengan Pengurus-pengurus Cabang Nahdlatul Ulama guna meminta restu.
Namun sejarah selalu terulang, di berbagai peristiwa politik, massa NU yang sedemikian besar hanya dimanfaatkan untuk perebutan kekuasaan semata. Sementara untuk mengisinya, tidak semua kader NU bisa melakukannya. NU selalu mengalami krisis kader, khususnya kader-kader profesional.
Dalam Konferensi Wilayah NU Jawa Timur yang digelar di Pondok Pesantren Zainul Hasan Probolinggo beberapa waktu lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika Prof. Muhammad Nuh, DEA sempat mengritik NU yang selama ini hanya berfungsi sebagai tempat persewaan alat-alat pesta. Setiap kali pesta demokrasi digelar, NU selalu didatangi semua kepentingan politik. Di situ, elit-elit NU digandeng dan diberi janji-janji seperti biasanya. Namun setelah pesta tersebut selesai, “alat-alat” yang sudah disewa kemudian dikembalikan lagi. Sang penyewa bisa leluasa menikmati kemenangan meski tanpa menggunakan alat-alat pesta yang sudah dikembalikan. Sebaliknya, pemilik persewaan alat-alat pesta tetap saja menjadi pemilik alat-alat pesta, bukan pemilik kekuasaan dan kebijakan.
Bahkan dalam sambutannya, KH. Hasyim Muzady waktu itu meminta semua warga NU termasuk kalangan elitnya, untuk membenahi terlebih dulu internal NU. Jika persoalan internal sudah selesai dan warga NU benar-benar kuat, maka ketika “tetangga” beruluk “salam”, tidak ada salahnya menjawab “wa’alaikum salam”.
Dari pernyataan ini saja sudah jelas, bahwa NU tidak akan pernah terpisah dengan perhelatan politik di negeri ini.
Nah, sekarang persoalannya, krisis kader profesional di internal NU yang selama ini tidak pernah menjadi perhatian. Kader-kader di NU bisa dibagi dalam beberapa macam. Kader pertama dan yang paling banyak adalah kader politisi yang memang dibesarkan di NU, pandai menggalang massa, memiliki kemampuan komunikasi massa yang baik, dan umumnya berasal dari “darah biru” NU. Para kader seperti ini pelan tapi pasti bakal menapak ke jenjang politik berlatar belakang NU. Ada juga kader politik yang tidak pernah ngurusi NU namun tiba-tiba muncul karena memiliki ikatan keluarga dengan pengurus NU atau ulama NU. Jelas kepentingannya ke depan adalah berkarir di dunia politik. Kategori kader selanjutnya adalah para anak-anak muda NU yang sejak awal benar-benar memiliki perhatian di NU bahkan aktif di kepengurusan NU. Namun karena satu dan lain hal akhirnya tidak bisa meneruskan “karirnya” di NU. Kader ini memilih untuk mencari bidang lain yang tidak banyak diisi warga NU. Umumnya di bidang profesional.
Ada juga kader yangmemang sejak lahir berasal dari keluarga NU, dibesarkan di keluarga NU, namun tidak memiliki bakat menjadi politisi NU. Akhirnya menjadi birokrat, teknokrat dan profesional. Ketika memulai karir tidak banyak yang dia lakukan terhadap NU. Apalagi yang dilakukan para elit NU untuk mendorong karirnya. Namun ketika karirnya sudah membumbung, beramai-ramai pengurus NU mengklaim bahwa kader tersebut murni berangkat dari NU dan didukung oleh elit-elit NU.
Banyak diantara para birokrat, teknokrat, akademis bahkan politisi yang sudah jadi dan berlatar belakang NU merasa tidak dibesarkan oleh NU. Pengurus-pengurus NU lebih ngopeni kader-kader politik daripada kader profesional. Akibatnya, ketika NU membutuhkan kader-kader profesional, bisa dihitung dengan jari jumlahnya. Bahkan yang bukan kader NU akhirnya ikut-ikutan ngaku orang NU.
Melihat begitu ‘nyamannya’ para bapak-bapak elit NU mulai dari pengurus cabang hingga pusat berdekatan dengan politik. Tidak heran apabila kemudian anak-anak NU mengambil sikap yang sama. Mulai berkenalan dengan dunia aktifis, berdekatan dengan dunia kekuasaan dengan cara apapun. Di hampir setiap perhelatan pergantian kepengurusan organisasi kepemudaan yang berbau NU, seperti IPNU, IPPNU, PMII dan yang sejenisnya, nuansa politis untuk merebut kekuasaan untuk dijadikan batu loncatan ke jenjang politik yang labih tinggi, sangat terasa. Bahkan, para anak muda NU sudah mulai memahami dan menerapkan tentang money politik. Sosok yang memiliki uang dan sarana yang banyak, tentu bakal mendapat dukungan yang kuat pula. Mereka mulai belajar bagaimana cara berhitung politik, mengakomodasi kepentingan-kepentingan lawan untuk dijadikan sekutu, membeli suara dan memberikan janji-janji seperti layaknya politisi senayan beraksi di daerah-daerah. Mereka tidak sadar bahwa degradasi moral kini sedang berlangsung di tubuh generasi muda NU.
Sudah 82 tahun sejak NU didirikan oleh KH Hasyijm Asy’ari, artinya usia NU bukan lagi muda atau dewasa. Namun seharusnya NU menjadi organisasi kemasyarakatan yang matang dan bisa menaungi semua warga nahdliyin.
Sekarang, saatnya NU kengukuhkan kembali Khittah 1926 kepada semua pengurus NU dan badan-badan otonomnya. NU juga harus memiliki sistem pengaderan yang jelas dan benar-benar diperhatikan. Mana bagian yang mengurusi kemasyarakatan, keagamaan, sosial dan lain-lain. Jika memang membutuhkan kader untuk bidang politik, harus diberi batasan yang jelas dengan kepentingan NU. Jangan sampai kepentingan tersebut dicampur-adukkan sehingga warga NU kembali akan dibawa pada kebingungan dan kegalauan politik. Jika persoalan pengaderan ini sudah beres, maka NU tidak akan lagi bingung ketika mencari kader-kader yang potensial. Dengan demikian, distribusi kader dan kepentingan warga NU yang lebih luas, bisa dilakukan dengan sangat efektif.
KH Abdul Muchith Muzady, Suriyah PBNU sering kali mengatakan di berbagai forum, menjadi anggota NU harus diniati bukan untuk mencari kekuasaan atau materi dan ketenaran. Bukan pula untuk memperbaiki NU ataupun elit-elit NU. Menjadi anggota NU niatnya hanya satu, untuk memperbaiki moral dan akhlak diri sendiri sebagaimana yang diajarkan ahlusunnah wal jamaah. (DawudGresika Pengurus Lajnah Ta’lif wan Nasyr NU Cabang Jember Jawa Timur, mantan Pengurus Wilayah IPNU Jawa Timur)

1 comment:

Anonymous said...

Geile Teenies ab 18 live vor der privaten sexcam.
Willst du sie so richtig rannehmen? Melde dich jetzt gratis an und du bekommst gleich 50 Coins für die liveshow gratis!
Geniesse tabulose [b][url=http://free-teen.org]Teen Sexcams[/url][/b]. Gerade erst 18 und schon so neugierig.

[url=http://gosoft.co.nz/css/guest/index.php?showforum=1]Teen Dating[/url]
[url=http://test.paczkow.pl/forum/viewthread.php?thread_id=72743]Teen Livecam[/url]
[url=http://www.itwpa.com/memberforum/profile.php?mode=viewprofile&u=928606]Free Teen[/url]

[url=http://mtr-grp.ru/includes/guest/index.php?showforum=]Teens ab 18[/url]
[url=http://chem.goldcccam.in/showthread.php?t=577&p=2581#post2581]Amateur Teens[/url]
[url=http://eirscca.com/forums/memberlist.php?mode=viewprofile&u=5161]Live Teens[/url]

http://forum.nothingealse.com/index.php?action=profile;u=34183 http://gameidiots.com/forums/memberlist.php?mode=viewprofile&u=1383 http://www.fijo-club.com/user/GratisTeeni/ livecam[/url]